Maybe this title seems insane. How could we give thanks for people who hurt us?
Perihal forgive and forget, getting hurt or letting go bukanlah hal yang mudah untuk diterima oleh siapapun. Setidaknya itulah yang saya rasakan sendiri. Ini bukanlah sekadar curhatan hati tapi semoga tulisan ini bisa mengantarkan teman-teman pada titik yang saya rasakan saat ini, titik dimana saya rasa sudah saatnya saya harus berterimakasih pada mereka yang telah menyakiti.
Terkadang, ketika saya membuka inbox sms, email, facebook atau yang lainnya mengingatkan rasa pada titik penolakan yang, sungguh, pada saat itu terasa sangat menyakitkan. Saya memang tidak pernah menghapus atau membuang hal-hal yang terkait dengan orang-orang tersebut karena saya yakin, semuanya akan berguna suatu saat nanti, untuk menertawakan diri saya sendiri mungkin. Baiklah, sepertinya saya harus ceritakan semuanya sejak awal agar teman-teman "nyambung" dengan topik ini.
"Sejak SMP, saya menyukai seseorang, entah apa yang membuat saya tertarik padanya. Dia hitam manis, tinggi semampai, dia pandai dan dia adalah seorang Kristen yang taat. Yang saya tahu dari teman-teman, dia juga menyukai saya. Tapi toh kami tidak pernah berpacaran, hanya dekat saja. Ketika SMA, kami bersekolah di sekolah yang berbeda. Kami bertemu lagi di sebuah perlombaan tingkat Kota pada saat itu. Sejak saat itu, saya dan dia dekat kembali. Semuanya berjalan baik hingga pada suatu hari ada seorang wanita, yang ternyata adik kelasnya mengirim pesan ke facebook saya dan mengatakan kalau wanita itu menyukai laki-laki itu. Sejak itu, dia sulit dihubungi dengan alasan sibuk berlatih untuk perlombaannya (Dia menang di lomba tingkat kota, dan harus bertanding di tingkat provinsi). Hal itu berlangsung terus hingga dia lolos seleksi provinsi dan harus mengikuti serangkaian kegiatan seleksi tingkat nasional di berbagai daerah.
Saat itu tahun 2010, setelah kelulusan kami dan di akhir masa karantinanya dalam seleksi tahap akhir di tingkat nasional. 7 Mei 2010 - Dia diterima di Universitas Indonesia melalui jalur Olimpiade, dimana sehari setelahnya saya gagal dalam SIMAK UI. Entah itu bisa dibilang firasat atau tidak. Tapi yang pasti, 6 Juli 2010 telah terjadi peristiwa yang pada akhirnya mengubah kehidupan kami bertiga, saya-dia-dan wanita itu. Dia memilih menjalani kehidupannya sendiri, sebuah keputusan yang memang haknya karena (sekali lagi) kami tidak berpacaran. Entah kapan, saya tidak tahu pasti, kemudian dia dan wanita itu pun berpacaran (Sang wanita sms saya dan meminta ijin). Setahun kemudian, dia sms saya dan meminta maaf, setelah sekian lama.
Dia pria pertama yang membuat saya menangis semalaman. Jujur, saya kesal kalau ingat kenapa saya bisa menangisi dia pada saat itu. Butuh waktu setahun untuk kembali merasakan yang namanya jatuh cinta. Kali ini dengan seorang kakak tingkat di kampus. Judulnya cinta bertepuk sebelah tangan, bagi saya itu sudah biasa. Tapi kali ini terasa lebih menyakitkan, mungkin karena 'moment' yang terjadi untuk mengetahuinya. Malam itu, sepulang dari kegiatan keagamaan di kampus, saya pulang dengan serombongan kakak tingkat. Di pertigaan, saya berpisah dengan mereka karena arah kosan yang berbeda. Tidak jauh berjalan, ternyata dia mengikuti dan mengantarkan saya ke kosan. Sepanjang perjalanan, hanya diisi dengan kata maaf, maaf dan maaf. Cukuplah untuk menjelaskan semua hal yang selama itu menjadi tanda tanya."
Kedua kejadian itu mengubah hidup saya, perkuliahan hingga secara mental pun saya terganggu. Sulit rasanya untuk membuka diri bagi orang lain, ya saya merasa trauma. Tak ada keberanian untuk kembali membuka lembar hidup yang baru, ada rasa takut untuk terluka kembali. Sehingga mungkin tanpa sengaja telah melukai hati orang lain dengan memberi harapan yang tak dapat saya berikan. Ini yang saya bilang hal bodoh, melepaskan masa depan demi masa lalu. It is stupid, isn't it? But, life must go on.
Saya terus menyusun kepingan-kepingan hati yang hancur, mencoba membangun kembali kehidupan yang baru. Setelah memutuskan inaktif dari segala kegiatan organisasi sejak lulus SMA, kejadian ini membuat saya kembali "gila" berorganisasi. Setidaknya, hal itu membuat saya lupa sejenak akan kepedihan.
Saat ini, saya sendiri tidak tahu, sudah berapa persen tingkat kesembuhan ini saya capai. Tapi yang saya tahu, saya sudah menjadi pribadi yang lebih kuat, kedua kejadian itu menjadi proses bagi saya untuk tegar menghadapi segala hal buruk yang mungkin saja saya alami nantinya. Memang saya belum sembuh benar, bahkan ketika menulis kisah ini pun saya masih bisa menangis dan ketika harus satu kereta sama dia, saya masih tidak memiliki keberanian untuk menyapanya.
Tapi biarlah lewat blog ini saya ingin mengucapkan terima kasih untuk mereka:
Terima kasih karena pernah menjadi bagian dalam hidup saya.
Terima kasih atas waktu yang pernah kalian berikan, meski tampak sia-sia
Terima kasih atas kesabaran yang tak terbatas atas segala sikap saya yang menjengkelkan
Terima kasih karena telah menjadi orang terbaik yang saya kenal
Terima kasih telah menjadi guru yang baik disaat saya membutuhkan nasehat.
Terima kasih atas senyum, cerita, canda dan memori yang telah menghidupkan saya selama ini
Terima kasih telah memotivasi saya untuk menjadi orang hebat seperti kalian
Terima kasih karena telah meninggalkan hidup saya, mungkin di saat yang tepat
Terima kasih karena dengan begitu, saya semakin dikuatkan, berani menghadapi hidup yang kian keras
Terima kasih karena sudah memberikan kenangan-kenangan indah, yang bisa dibagikan untuk orang lain
Terima kasih untuk kalian yang telah menyakitiku, tanpa kalian saya hanya menjadi besi yang tidak berguna, dan kalian menempa saya menjadi sebuah pisau yang tajam.
Terima kasih untuk waktu yang kalian sisihkan untuk membaca kisah ini.
I can forgive but not forget. Meskipun sesungguhnya tidak ada yang harus dimaafkan, tapi biarlah kisah ini menjadi pembelajaran. Ada pepatah mengatakan:
"Tidak ada yang salah jika kamu peduli pada seseorang, yang salah adalah mengharapkan dia melakukan hal yang sama. "
"Dalam hidup, kamu akan bertemu 2 jenis orang: 1. Dia yang berimu luka 2. Dia yang menyembuhkannya. Pada akhirnya, kamu akan berterimakasih pada keduanya"
Yah, mungkin saja rasa sakit itu timbul karena rasa ekspektasi yang terlalu tinggi. Saya sudah berterima kasih pada mereka yang masuk dalam golongan pertama, namun belum menemukan orang pada golongan kedua untuk mengucapkan terima kasih. However, I'm not ready for another story, let time flies and choose the right time.
Dia, dalam sms-nya pernah memberikan sebuah petikan Injil:
"Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya,..." - Pengkhotbah 3 : 11a
0 komentar:
Posting Komentar