Prolog
Satu.
Cukup satu orang yang bisa
membuatku jatuh cinta dan bertahan selama bertahun-tahun. Dia. Dia itu kamu
yang mungkin saat ini sedang membaca buku ini. Maafkan atas kelancanganku yang
tanpa seijinmu menuliskan kisah kita – entah apakah kita itu pernah terjadi
atau tidak. Sungguh, aku hanya ingin membagikan kebodohanku yang sampai hari
ini pun tak bisa melepaskanmu dari hati dan pikiranku; setiap kali ku dengar
nama yang sama dengan namamu, setiap kali aku melakukan hal-hal yang pernah
kita lakukan bersama, setiap kali aku berada ditempat kita pernah berada,
bahkan otakku selalu penuh memori setiap kali hujan datang membasahi bumi.
Aku ingin hanya ada kita dalam
buku ini. Ternyata aku pun tak bisa menghapuskan mereka dari kehidupan yang
terbentuk diantara kita saat itu maupun saat ini. Aku tak sanggup menuliskan
namanya yang pernah berada disisimu dan mungkin juga masih mendampingimu hingga
sekarang. Meskipun begitu, aku ingin setiap orang yang membaca buku ini
mengetahui kehadirannya diantara kita. Aku bahkan sudah siap dicap sebagai
orang bodoh – kenyataannya memang aku bodoh – karena menerbitkan buku ini
berarti aku belum bisa move on darimu. Mungkin.
Tahukah kamu? Menulis merupakan
suatu bentuk keabadian. Mungkin suatu saat nanti aku akan hidup mandiri tanpa
bayang-bayang dirimu, tapi aku tak ingin kenangan tentangmu hilang begitu saja.
Biarkan kenangan ini akan abadi melalui karya sederhana yang kutuliskan ini,
jangan halangi aku untuk menuliskan kisah kita ini karena hakmu untuk
mencegahku telah berakhir sejak pertama kalai kau putuskan untuk pergi. Menulis
buku ini seperti menyuntikkan jarum infus ke dalam venaku, sungguh rasanya
menyakitkan harus membuka kembali memori-memori itu. Namun aku berharap
setelahnya aku bisa sembuh dari segala sakit penyakit, ketidakikhlasan,
kehilangan, mungkin juga cinta. Jika selepas menulis buku ini, aku bisa dengan
ikhlas melepasmu, wah puji Tuhan sekali, karena sampai sekarang pun rasanya
sulit kehilangan sosok sepertimu.
Apa kabarmu saat ini disana? Aku
rindu dan selalu merindukanmu. Meskipun begitu aku cukup cerdas untuk terus
mengamatimu dari jauh. Aku tahu, meskipun terkadang sulit mendapatkan
informasi-informasi itu karena tipikalmu yang jarang berinteraksi lewat media
sosial. Bukan, bukan berarti aku bilang kau kuper apalagi gaptek. Kamu bahkan
bisa menciptakan media sosial sendiri jika kamu mau, kan? Kamu terlalu pandai
untuk menghabiskan waktumu di media sosial. Waktumu terlalu berharga untuk
digunakan tanpa menghasilkan apa-apa. Berjam-jam kamu bertahan di depan
komputermu, tapi imanmu kuat sekali untuk tidak sedikitpun berselancar di
sosial media yang sedang digandrungi anak-anak muda seusia kita kala itu. Ya,
itulah kamu menurut kacamataku. Kamu yang begitu apa adanya. Ah, niat
menyampaikan rinduku terlalu panjang rupanya sampai aku mengisahkan tentangmu
yang harusnya ada di bagian dalam buku ini. Hihihi. Baiklah, selamat menikmati
kembali kisah kita, semoga kamu masih ingat seluruhnya ya agar aku tak kau
sangka mengarang cerita ini.
Salam rindu dariku padamu.
0 komentar:
Posting Komentar